Langsung ke konten utama

Hadits tentang Larangan Korupsi dan Kolusi



 HADITS TARBAWI
HADIS LARANGAN KORUPSI DAN KOLUSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits Tarbawi
yang dibimbing oleh Bapak Dr. La Ode Ismail Ahmad, M.Th.I
OLEH: KELOMPOK 8
Nur Annisa                              NIM: 20100116066
Sitti Fatimah S                        NIM: 20100116062
Yuliasti                                    NIM: 20100116052

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK 2016/1017
LARANGAN KORUPSI DAN KOLUSI

A.    Hadits tentang Larangan Menyuap
1.      Teks Hadits
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَيِيْهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ - صل الله عليه وسلم - الرَّاشِى وَاْلمُرْتَشِى فِى اْلحُكْمِ
2.      Terjemahan Hadits
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah, dari Umar bin Abi Salamah, dari bapaknya dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang memberi dan menerima suap dalam masalah hukum.”

3.      Takhrij Hadits
o  
o   Musnad Imam Ahmad bin Hambal Juz 2 hlm 287, 288
4.      Biografi Perawi
Abu Hurairah (19 s.H – 59 H)
Nama lengkap Abu Hurairah adalah Abdur Rahman binShakhr al-Dausy al-Yamany.[1] Menurut Hisyam Ibn Al-Kalbi adalah Umam Ibn Amir Ibn Dzi As-Sarri Ibn Tharrif Ibn Iyan Ibn Abi Sha’b Ibn Hunaid Ibn Tsa’labah Ibn Sulaiman Ibn Fahn Ibn Ghanan Ibn Daws.[2]
Beliau masuk Islam pada saat terjadinya peperangan Khaibar, yaitu pada bulan Muharam tahun ke-7 Hijriah. Abu Hurairah merupakan sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis yakni 5374 hadis. Menurut al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5364 hadis. Yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim sejumlah 325 hadis, 93 hadis diriwayatkan oleh Bukhari saja sedangkan 189 hadis diriwayatkan oleh Muslim.
Abu Hurairah menerima hadis selain dari Nabi SAW., antara lain adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ubai bin Ka’ab, Utsman bin Zaid, Aisyah binti abu Bakar, Al-Fadl, Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib, dan lain-lain. Adapun orang yang menerima riwayat darinya adalah muridnya antara lain Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik (kalangan sahabat), Sa’id bin al-Musayyab, Ibnu Siri, Ikrimah, ‘Atha, Mujahid al-Sya’bi (dari kalangan tabiin). Menurut catatan sejumlah muridnya berjumlah sekitar 800 orang.
Ibnu Uyainah dari Hisyam Ibn Urwah berkata, “Abu Hurairah meninggal pada tahun Siti  Aisyah meninggal, yakni tahun 57 H.” Hal itu dikemukakan pula oleh Khalifah, Amr Ibn Ali, Abu Bakar, dan jama’ah, Damrah Ibn Rabi’ah, dan Hitsam Ibn Abdi pun berpendapat demikian. Abu Masyar berkata Bahwa ia meninggal pada tahun 58 H. Abu Hurairah dikuburkan di Baqi dekat kuburan Asqalam.[3]
5.      Syarah Kosa Kata
لَعَنَ              :Melaknat
الرَّشِى
          :Pemberi suap
المُرْتَشِى
        :Penerima suap
فِى اْلحُكْمِ
       : Dalam (masalah) hukum
6.      Syarah Umum
Rusywah artinya tercapainya suatu keinginan dengan melakukan penogokan atau penyuapan ataupun pemberian. Ada juga yang berpendapat bahwa rusywah adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan tujuan untuk menyembunyikan kebenaran atau membenarkan suatu kebatilan (menutupi kesalahan).  Tetapi, jika pemberian tersebut bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya atau menyelamatkan dari kedzaliman, maka hal tersebut bukan dinamakan rusywah (suap). [4]
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau agar mendapat hukuman ringan.
Perbuatan seperti itu dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai peerbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta haram karena diperoleh melalui jalan yang batil. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلاَ تَأْكُلُوآ اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِلبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَتْتُمْ تَعْلَمُونَ ۝
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain di antara kamu dengan jala yang batil, (janganlah kamu) membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian pada harta benda orang lain dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”.
(QS. Al-Baqarah: 188)
Suap-menyuap sangat berbahaya bagi masyarakat karena akan merusak tatanan dalam sistem yang ada di masyarakat. Dan juga menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dengan suap banyak orang yang seharusnya mendapat hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari hukuman. Sebaliknya, orang yang melakukan pelanggaran ringan mendapat hukuman yang berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para hakim.
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapat perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima sesuatu apapun dari pihak manapun selain gajinya sebagai hakim.
Sebenarnya suap-menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis lainnya, suap-menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum, seperti dalam hadis:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَو : لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى.
(رواه الترمذى)
Artinya: “Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah melaknat penyuap dan orang yang disuap.” (H.R. Turmudzi)
Suap-menyuap ini dilarang karena kapan dan dimana saja, suap akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat banyak. Dengan demikian, larangan Islam untuk menjauhi suap tidak lain agar manusia terhindar dari kerusakan dan kebinasaan di dunia dan siksa Allah SWT kelak di akhirat.
Menurut Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlany, suap dibolehkan dalam rangka memperoleh sesuatu yang menjadi haknya atau untuk mencegah dari kezaliman, baik yang akan menimpa dirinya maupun keluarganya. Hal itu didasarkan pada pendapat tabi’in bahwa boleh melakukan suap jika takut tertimpa zalim, baik terhadap diri sendiri maupun keluarganya.
Tetapi dalam kitab ‘Aumul Ma’bud mengatakan bahwa pemberian dalam hal tersebut bisa dilakukan kepada selain hakim dan pemimpin. Apapun motivasinya, pemberian hadiah kepada hakim dan pemimpin dilarang sekalipun untuk menolong orang yang terdzolimi, karena menolong orang-orang yang didzolimi , menegakkan kebenaran adalah tugas dan kewajiban mereka.[5]
Adapun menurut Imam Asy-Syaukani, sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakshish (dibatasi). Namun demikian, dalam Islam ada kaidah: اَلضَّرُورَةُ تَبِيحُ الْمَحْضُورَاتُ (kemudharatan membolehkan sesuatu yang membahayakan). Dengan demikian, jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari kerusakan, kecuali dengan melakukan suap, ia boleh melakukannya.
Menurut M. Quraish Shihab, argumen para ulama diatas tidaklah jelas, tetapi tampaknya keadaan ketika itu mirip dengan keadaan pada masa sekarang. Tampaknya saat itu budaya suap-menyuap telah menjamur, sehingga meyulitkan penuntut hak untuk mendapatkan haknya maka lahirlah pendapat yang membolehkan tadi.
Akan tetapi, menurutnya, Asy-Syaukani mengingatkan bahwa pada dasarnya, agama tidak membolehkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari seseorang, kecuali dengan hati yang tulus. Apakah orang yang member pelican itu tulus? Dan tidakkah sikap tersebut semakin menumbuhsuburkan praktek suap-menyuap dalam kehidupan bermasyarakat? Bukankah dengan memberi -walaupun dengan dalih meraih hak yang sah-  seseorang telah membantu si pemberi -sedikit ataupun banyak- menurutnya, telah pula menerima sanksi keharaman dan kutukan atas suap-meyuap itu.[6]
Suap-menyuap bersama-sama dengan penggelapan dana-dana publik sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi.[7]
Suap sebagai kejahatan korupsi memang merupakan suatu ketentuan baru yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai diundangkan dengan UU No 3 Tahun 1971 dan kemudian diganti dengan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001. Tetapi semua ketentuan suap tersebut ditransfer dari KHU pidana dalam kaitan dengan tindak pidana jabatan (ambs delicten).[8]
Jumhur Fuqaha (Ulama Fiqih) berpendapat bahwa korupsi diharamkan karena bertentangan dengan tujuan hukum Islam. Perilaku korupsi merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang atau jabatan, menghianati amanah yang dipercayakan kepadanya dan merugikan kepentingan masyarakat sehingga seharusnya dihindari. Larangan korupsi tersebut ditegaskan dalam Al-Qur’an (Q.S. al-Anfal/8: 27) yakni larangan mengkhianati Allah, Rasulullah dan amanah yang dipercayakan.
Larangan tersebut diungkapkan dalam bentuk sighat al-nahy (la takhunu)berarti janganlah kamu berkhianat. Kata al khianat bersinonim dengan kata al nifaq (pura-pura atau munafik) hanya saja khianat dihubungkan dengan janji dan amanah sedangkan al nifaq dikaitkan dengan agama. Jadi, amanah bisa berasal dari Allah dan juga manusia (masyarakat).
Korupsi juga termasuk perbuatan yang memiliki kecurangan dan penipuan secara langsung merugikan keuangan negara atau publik. Allah melarang perbuatan tersebut seperti tertuang dalam Alqur’an (Q.S. Ali Imran/3: 161) yang menjelaskan antara lain bahwa orang yang berkhianat dalam harta rampasan akan datang di hari kiamat dengan membawa apa yang dia khianati tersebut.[9]
Korupsi juga mengandung arti memperkaya diri bersumber dari harta negara yang merupakan perbuatan aniaya (dhalim). Hal tersebut dipahami karena kekayaan negara diperoleh dari pemasukan yang dipungut dari hasil jerih payah dan tetes keringat masyarakat termasuk orang-orang miskin. Suatu tindak tidak etis da tidak manusiawi jika seseorang bermewah-mewahan menggunakan uang atau harta yang diperoleh dari usaha masyarakat miskin dan lainnya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.perbuatan tersebut dikategorikan sebagai suatu kedzaliman.
Pemanfaatan hasil korupsi sekalipun untuk kemaslahatan umat seperti pembangunan mesjid, madrasah, mebiayai kebutuhan anak yatim piatu dan miskin, tetap dilarang dalam Islam (Q.S. Al-Baqarah/2: 188).  Keharaman tersebut juga berdasarkan kaedah ushul fiqh yang artinya “sesuatu yang diharamkan mengambilnya, maka memanfaatkannya juga diharamkan”. [10]
7.      Nilai dan Aspek Pendidikan
Ayat di atas memiliki aspek pendidikan sebagai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan bertujuan membentuk karekter seseorang menjadi orang yang jujur, bisa menjaga amanah dan menyampaikannya. Seorang peserta didik harus amanah mengerjakan tugas yang diberikan oleh pendidik  dan jujur dalam melakukannya.
B.     Hadits tentang Larangan Pejabat Menerima Hadiah
1.      Teks Hadits
حَدَّثَنَا أَبُو اْليَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ - صل الله عليه وسلم - اسْتَعْمَلَ عَامِلاً فَجَاءَهُ اْلعَامِلُ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا لَكُمْ , وَهَذَا أُهْدِيَ لِى . فَقَالَ لَهُ ( أَفَلاَ قَعَدْتَ فِى بَيْتِ أَبِيْكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لاَ ). ثُمَّ قَامَ رَسُلُ اللهِ - صل الله عليه وسلم - عَشَيَّةً بَعْدَ الصَّلاَةِ فَتَشَهَّدَ وَ أَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ ( أَمَّا بَعْدُ , فَمَا بَالُ اْلعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ , فَيَأْتِيْنَ فَيَقُولُ هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ , وَهَذَا أَهْدِيَ لِي . أَفَلاَ قَعَدَ فِى بَيْتِ أَبِيْهِ وَ أُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ , فَوَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا , إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ , إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ , وَ إِنْ كَانَتْ بَقَرَةٌ جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ , وَ إِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ , فَقَدْ بَلَغْتُ )
2.      Terjemahan Hadits
“Abu Humaid al-Sa’idi ra berkata: Rasulullah SAW mengangkat seorang Amil (pegawai) untuk menerima zakat (sadaqah), kemudian sesudah selesai dia datang kepada Nabi SAW dan berkata: Ini untukmu dan yang ini hadiah yang diberikan orang kepadaku. Maka Nabi SAW bersabda: Mengapakah anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak?. Kemudian sesudah sholat Nabi SAW berdiri setelah tasyahhud dan memuji Allah selayaknya lalu bersabda: Amma ba’du, mengapakah seorang amil yang diserahi amal kemudian dia datang lalu berkata: Ini hasil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk mengetahui apakah diberi hadiah atau tidak, demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi) melainkan ia akan menghadap di hari qiamat memikul di atas lehernya, jika berupa onta dia akan dating dengan bersuara, atau lembu yang menguak, atau kambing yang mengembek, maka sungguh aku telah menyampaikannya.”[11]
(Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalm kitab “Iman dan Nadzar”, bab: “Bagaimana Cara Nabi SAW Bersumpah”).[12]
3.      Takhrij Hadits
o  
o   Shahih Imam Bukhari, Kitab Iman Bab 3
o  
o   Sunan Ad-Darimi, Kitab Zakat Bab 30, Kitab Syr Bab 51
o   Musnad Ahmad bin Hambal Juz I h. 260; Juz III, h. 74[13]
4.      Biografi Sahabat
Abu Humaid al Sa’idi.
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Fadl bin Bahram bin Abd al-Samad al-Darimi al-Tamimiy Abu Muhammad al-Samarkandiy (181-255 H).[14] Menurut  Adz-Dzahaby, “Ia adalah Abdurrahman Ibn Amr Ibn Saad. Dikatakan pula bahwa ia adalah Al-Mundzir Ibn Sa’ad. Ibn Atsir menambahkan, “Ibn Malik Ibn Khalid Ibn Tsa’labah Ibn Jari’ah Ibn Amr, Ibn Khajraj.
Dikatakan pula beliau termasuk salah seorang penduduk Madinah, dan meninggal pada akhir masa pemerinahan Khalifah Mu’awiyah.
Beliau meriwayatkan 120 hadis dari Rasulullah SAW. Bukhari dan Muslim telah sepakat dalam tiga hadis. Bukhari telah sepakat dalam satu hadis, dan sisanya adalah Muslim.[15]
Dalam riwayat hidupnya, dia pernah berguru kepada Abd al-Yaman, dan salah seorang muridnya yang terkenal adalah al-Bukhari. Al-Darimi adalah termasuk periwayat hadis yang bersifat tsiqat. Hal ini dapat dipahami dari beberapa pernyataan ahli kritik hadis tentang dirinya, seperti:
1.      Ahmad bin Hambal, bahwa al-Darimi ialah seorang imam.
2.      Ahmad bin Sayyar (w. 268 H), bahwa al-Darimi adalah orang yang berpengetahuan luas, dengan karya besarnya telah menyusun kitab al-Musnad dan al-Tafsir.
3.      Al-Khtaib al-Baghdadi (w. 463 H), bahwa al-Darimi adalah orang yang senang mengembara mencari hadis Nabi, mengumpulkan dan menghafalkannya. Dan dia itu termasuk orang yang tsiqat, sidq, wara’, dan zuhud.
Tidak ada seorangpun yang mencela pribadi al-Darimi, sebaliknya pujian yang diberikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Oleh Karena itu, diyakini bahwa al-Darimi adalah benar-benar menerima hadis dari abu al-Yaman. Hal ini didukung oleh lambang periwayatan yang digunakan adalah lafal “akhbarana”, yang dimungkinkan dengan metode al-Sama’, al-Qira’ah atau dengan al-Ijazah. Yang berarti pula bahwa antara al-Darimi dengan Abu Yaman terjadi persambungan sanad.[16]
5.      Syarah Kosa Kata
Mempekerjakan seorang pekerja                                       : إِسْتَعْمَلَ عَامِلاً
Berkhianat, menyembunyikan sesuatu, korupsi                : يَغُلُّ
Suara onta                                                                         : اَلرُّغَاءُ
Suara lembu (sapi)                                                 : خُوَارٌ
Suara kambing yang keras                                                : تَيْعَرُ
Leher                                                                                 : عُنُقٌ
Memuji                                                                              : أَثْنَى

6.      Syarah Umum
Hadis tersebut masuk dalam pembahasan bagaimana cara Rasulullah bersumpah. Dari beberapa hadis yang berkaitan dengan hadis ini menjelaskan bahwa cara-cara sumpah Rasulullah antara lain: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya”, “Demi Dzat yang jiwa Muhammada berada di tangan-Nya”, “Tidak, demi Dzat yang membolak-balikkan hati”, atau “demi Allah”. Sumpah selain menggunakan nama Allah itu dilarang atau tidak diperbolehkan dalam Islam.
Hadis di atas menjelaskan bahwa ada salah seorang sahabat Nabi SAW yang diutus sebagai amil untuk mengumpulkan zakat dan sedekah di suatu daerah. Setelah selesai tugasnya, dia datng melaporkan hasil pengumpulannya dengan mengatakan bahwa ini adalah hasil pungutan zakat dan sedekah, tetapi yang ini adalah untuk saya sendiri karena mereka menghadiakannya kepadaku. Pernyataan sahabat tersebut dijawab oleh Nabi SAW dengan mengatakan “Mengapakah anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak?”. Artinya, sahabat itu tidak mungkin memperoleh hadiah kalau dia tidak ditugaskan sebagai amil. Dengan demikian, perkataan sahabat “hadiah” yang dia peroleh itu seolah-olah sama dengan korupsi mengingat kapasitasnya sebagai amil.
Mendengar pernyataan sahabat tersebut, Nabi SAW lalu berkhutbah di hadapan para sahabatnya dan menjelaskan bahwa ancaman serius bagi orang yang korupsi. Mereka akan datang di hari kiamat nanti dengan membawa hasil korupsinya berupa onta, atau seperti suara sapi (kalau barang korupsinya sapi), atau seperti suara kamibing (kalau barang korupsinya kambing).
Dalam hadis ini secara tekstual, mengajarkan para pejabat untuk bisa membedakan mana yang namanya hadiah dengan korupsi yang susah dibedakan.[17]
Dalam Islam, hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih mempererat persaudaraan atau persahabatan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwatha dari Al-Khurasany:
تَصَافَحُوْا يَذْهَبُ الْغُلَّ وَتَهَادُوْا تَحَابُوْا وَتَذْهَبَ الشَّحْنَاءَ. (رواه لإمام مالك)
Artinya: ”Saling bersalamanlah kamu semua, niscaya akan menghilangkan kedengkian, saling memberi  hadiahlah kamu semua, niscaya akan saling mencintai, dan menghilangkan percekcokan”.
(H.R. Imam Malik)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari Abu Hurairah:
تَهَادُوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تَذَهَبُ حَرَّ الصَّدْرِ . (رواه الترمذى)
Artinya: “Saling memberi hadiahlah kamu semua, sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kebencian dan kemarahan”. (H.R. Turmudzi)
Bagi orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut kelihatannya hina dan tak berguna. Nabi bersabda:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ أَهْدِيَ إِلَيَّ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ. (رواه الترمذى)
Artinya: ”Dari Anas r.a, bahwa Nabi SAW bersamba “Kalau saya diberi hadiah keledai, pasti saya terima”. (H.R. Turmudzi)
Hal itu dinyatakan pula dalam hadis lain dari Khalid bin Adi:
عَنْ خَلِدِ بْنِ عَدِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ جَاءَهُ مِنْ أَخِيْهِ مَعْرُوْفٌ مِنْ غَيْرِ إِشْرَفٍ وَلاَ مَسْأَلَةٍ فَلْيَقْبَلْهُ وَلاَ يَرُدُّهُ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ .
Artinya: “Dari Khalid bin Adi bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa mendapatkkan dari saudaranya suatu kebaikan (hadiah) tanpa berlebih-lebihan dan (tanpa mendatangkan) masalah, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak boleh menolaknya. Hal itu merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya”.
Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan menerimanya.
Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah ahdiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah, misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.
Hal itu ditujukan untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang ingin sekali mengenal bahkan akrab dengan orang-orang yang terpandang, baik para pejabat maupun orang-oarng yang memiliki kedudukan tinggi lainnya. Mereka menempuh segala cara untuk dapat mendekati orang-orang tersebut padahal pejabat tersebut hidup bekecukupan, bahkan tak pantas diberi hadiah, karena masih banyak yang lebih membutuhkan hadiah tersebut.
Oleh karena itu, Islam melarang seorang pejabat atau petugas negara dalam posisi apapun untuk menerima atau memperoleh hadiah dari siapapun karena hal itu tidaklah layak dan dapat menimbulkan fitnah. Di samping sudah mendapatkan gaji dari negara, alasan pemberian hadiah tersebut berkat kedudukannya. Bila dia tidak memiliki kedudukan atau jabatan, belum tentu ada yang mau memberinya hadiah. Sebagaimana dalam hadis di atas bahwa jika ia tidak menjabat dan hanya diam di rumah, tidak ada seorang pun yang memberinya hadiah kepadanya.
Dengan demikian, hadiah yang diberikan kepada pejabat -kecil maupun besar jabatannya- apabila sebelumnya tidak biasa terima akan dinilai sebagai sogokan terselubung.
Dengan kata lain, seorang pejabat tidaklah memiliki hak untuk menerima hadiah dari siapa pun. Di samping itu, niat orang-orang yang memberi hadiah kepada para pejabat dipastikann didasari pada keikhlasan sehingga perbuatan mereka akan sia-sia di hadapan Allah SWT.
Kalau mereka memang ingin memberi hadiah, mengapa tidak kepada orang yang lebih membutuhkan dari pada pejabat tersebut. Jelaslah bahwa mereka menginginkan balas budi dari hadiah yang diberikan tersebut, antara lain mengharapkan agar pejabat tersebut mempelancar urusannya.
Selain itu, seorang pejabat yang menerima hadiah dari orang, berarti dia mendekatkan diri pad perbuatan kolusi dan nepotisme. Dalam pelaksaan kewajiban khususnya, misalnya dalam penempatan pegawai, dan lain-lain, bukan lagi berdasarkan aturan yang ada, namun lebih didasarkan pada apa yang diberikan dan seberapa dekat hubungannya dengan orang tersebut.
Dengan demikian, sangatlah pantas kalau Rasulullah melarang seorang pegawai  atau petugas negara untuk menerima hadiah karenamenimbulkan kemudharatan walaupun pada asalnya menerima hadiah itu dianjurkan. Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa “ Suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemudharatan, tidak boleh dilakukan”.
Namun demikian, kalau kaidah tersebut betul-betul murni dan tidak ada kaitannya dengan jabatan, Islam tentu saja memperbolehkannya. Misalnya sebelum dia menduduki suatu jabatan, dia sudah sering dan terbiasa menerima hadiah dari seseorang. Bergitu pula setelah dia menduduki jabatan, orang tersebut masih tetap memberinya hadiah. Pemberian seperti itu kemungkinan besar tidak ada kaitannya dengan jabatannya atau kedudukannya dan ini boleh diterima olehnya.[18]
7.      Nilai Pendidikan
o   Tujuan pendidikan
o   Orang yang berilmu pasti berlaku jujur dan amanah


DAFTAR PUSTAKA
Midong, Baso & St. Aisyah, Buku Daras Hadis, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin   Makassar, Alauddin Press, 2009.
Muladi, Hakikat Suap dan Korupsi, http://www.unisosmed.org/article_detail, (24           Januari 2017)
Payapo, Lukmanulhakim, Suap, Korupsi, dan Imej Negara,          http://m.kompasiana.com/lkmn_payapo/suap-korupsi-dan-imej-hegara_, (01   Januari 2013).
Rozi, Mas, Studi Hadits Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat Dalam    Melaksanakan Tugasnya, Zypedia.blogspot.co.id/2015/06/studi-hadits-larangan- menerima-hadiah-bagi-para-pejabat-dalam-melaksanakan-tugasnya.html, (13          Juni 2015).
Syafe’i, Rachmat, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), Ed. Rev, Bandung: CV Pustaka Setia.


[1] H. Baso Midong & St. Aisyah, Buku Daras Hadis, hlm. 97-98
[2] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), Ed. Rev, hlm. 14
[3] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), Ed. Rev, hlm. 15
[4] H. Baso Midong & St. Aisyah, Buku Daras Hadis, hlm. 98
[5] H. Baso Midong & St. Aisyah, Buku Daras Hadis, hlm. 99
[6] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), Ed. Rev, hlm. 155
[7] Muladi, Hakikat Suap dan Korupsi, http://www.unisosmed.org/article_detail, (24 Januari 2017)
[8] Lukmanulhakim Payapo, Suap, Korupsi, dan Imej Negara, http://m.kompasiana.com/lkmn_payapo/suap-korupsi-dan-imej-hegara_, (01 Januari 2013)
[9] H. Baso Midong & St. Aisyah, Buku Daras Hadis, hlm. 99
[10] H. Baso Midong & St. Aisyah, Buku Daras Hadis, hlm. 100
[11] H. Baso Midong & St. Aisyah, Buku Daras Hadis, hlm. 103
[12] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), Ed. Rev, hlm. 158
[13] H. Baso Midong & St. Aisyah, Buku Daras Hadis, hlm. 103
[14] Mas Rozi, Studi Hadits Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat Dalam Melaksanakan Tugasnya, Zypedia.blogspot.co.id/2015/06/studi-hadits-larangan-menerima-hadiah-bagi-para-pejabat-dalam-melaksanakan-tugasnya.html, (13 Juni 2015)
[15] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), Ed. Rev, hlm. 158-159
[16] Mas Rozi, Studi Hadits Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat Dalam Melaksanakan Tugasnya, Zypedia.blogspot.co.id/2015/06/studi-hadits-larangan-menerima-hadiah-bagi-para-pejabat-dalam-melaksanakan-tugasnya.html, (13 Juni 2015)
[17] H. Baso Midong & St. Aisyah, Buku Daras Hadis, hlm. 104
[18] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), Ed. Rev, hlm. 159-162
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kalimat dalam Bahasa Indonesia dan Pembagiannya

BAHASA INDONESIA KALIMAT DAN PEMBAGIANNYA OLEH: YULIASTI NIM: 20100116052 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR TAHUN AKADEMIK 2016/1017   KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang masih memberikan kesehatan dan kesempatannya kepada kita semua, terutama kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan masalah ini. Berikut ini, penulis mempersembahkan sebuah makalah yang berjudul   “Kalimat Dalam Bahasa Indonesia”, penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua, terutama bagi penulis sendiri. Kepada pembaca yang budiman, jika terdapat kekurangan atau kekeliruan dalam makalah ini, penulis mohon maaf, karena penulis sendiri dalam tahap belajar. Dengan demikian, tak lupa penulis ucapkan terima kasih, kepada para pembaca. Semoga Allah memberkahi makalah ini sehingga benar-benar bermanfaat. Gowa

Sholat Sunnah Isyraq

Pengertian Shalat Isyraq  ;adalah shalat sunnah dua raka’at yang dikerjakan setelah matahari terbit sekitar satu tombak, atau kira-kira lima belas menit setelah matahari terbit. Shalat ini memiliki nilai keistimewaan tersendiri jika pra syaratnya dipenuhi yaitu shalat shubuh berjamaa’h yang diteruskan dengan berdzikir hingga menjelang waktu syuruq (matahari terbit).  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ ، وَعُمْرَةٍ، تَامَّةٍ ، تَامَّةٍ ، تَامَّةٍ (رواه الترمذي Artinya ; “Siapa yang shalat Shubuh dengan berjamaah, lalu duduk berdzikir kepada Allah sehingga matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala haji dan umrah sempurna (diulang tiga kali).” (HR. Al-Tirmidzi no. 971). Majelis Tarjih Muhammadiyah menjelaskan bahwa isyraq/syuruq,  berasal dari kata syarq yang maknanya timur, terbit, me